Di Tivaouane, sekitar 90 kilometer dari Kota Dakar, Senegal, nama Djakarta melekat erat dalam ingatan masyarakatnya hingga kini. Di sana, nama itu ditabalkan untuk sebutan ojek yang hilir-mudik mengangkut penumpang.
Sepeda motor, yang sebagian besar merupakan produk China ini, merupakan salah satu alat transportasi utama di kota suci umat Tidianiya ini. Sekretaris Kedua Bidang Penerangan dan Sosial Budaya, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Dakar, Rheinhard Sinaga menyatakan, menurut warga Tivaouane, penyebutan nama Djakarta bagi ojek karena dahulu sepeda motor tersebut sebagian besar diimpor dari Jakarta.
"Hal ini menjelaskan kenapa ejaan Djakarta masih menggunakan ejaan lama Dj bukan J. Sehingga para pemakai motor menyebut motornya dari Djakarta, lalu kemudian berkembang menjadi motor Djakarta," kata Rheinhard melalui email dari Dakar.
Indonesia, ujar Rheinhard, pernah menjadi pengekspor motor terbesar ke kawasan Afrika Barat pada era 80-90an, namun kemudian kalah bersaing dengan motor buatan Cina. Mantan Dubes Mali untuk Indonesia yang berkedudukan di Tokyo, Mdm. Maemunnah, pertama sekali mengenal Indonesia justru dari motor Djakarta yang ada di Mali.
Bahkan informasi yang diperoleh dari Mdm. Maemunnah, yang disampaikan kepada Andradjati, Dubes RI di Dakar saat ini, ketika masih menjabat sebagai Direktur Afrika Kemlu RI, Presiden Mali berencana akan kembali mengimpor motor dari Indonesia. Hal ini, peluang bisnis bagi eksportir motor Indonesia untuk menjual produk kendaraan roda dua ke Mali dan negara-negara di wilayah Afrika Barat lainnya.
Sekarang ini, model transportasi motor Djakarta ini memiliki peran penting bagi masyarakat untuk bergerak cepat dari satu tempat ke tempat lain di wilayah Afrika Barat, antara lain seperti Senegal dan Mali, mengingat kemacetan yang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Djakarta menjadi pilihan yang tepat dibanding menggunakan mobil, apalagi di waktu jalanan sedang macet.
Di Tivaouane, transportasi motor Djakarta dipakai untuk mencari rezeki nomplok sebagai ojek untuk mengangkut penumpang dengan biaya yang jauh lebih murah daripada taxi. Apalagi pada saat perayaan Maulud, di mana umat yang merayakan berjumlah ratusan ribu orang menyemuti kota.
Menurut cerita tukang ojek motor di Tivaouane, dalam pada kondisi normal, biasanya sekali jalan penumpang membayar ongkos sebesar Francs 200 (setara dengan Rp. 4000, dengan asumsi Francs 1 = Rp. 20), tapi pada saat perayaan Maulud awal Februari lalu, penumpang bisa membayar sampai dengan Francs 600 per angkut. Rata-rata penghasilan tukang ojek bisa mencapai Francs 25.000 per hari, dan dari jumlah itu para tukang ojek harus menyetorkan Francs 2.000 kepada pemilik motor Djakarta dan menikmati sisanya.
Jika penumpang lagi banyak, bisnis ojek menjadi sangat menggiurkan. Apalagi seperti pada hari-hari besar saat orang banyak membutuhkan ojek, tukang ojek bisa mendapatkan penghasilan yang lumayan besar dan bisa ditabung untuk membeli motor Djakarta tanpa meminjam kepada pemilik.
"Bahkan mereka bisa hidup layak dengan penghasilan ojek," tukas Rheinhard.
Sumber
http://news.detik.com/read/2012/02/09/004102/1837877/10/ojek-motor-bernama-djakarta-di-senegal