Sungguh sangat mulia hati lelaki tua veteran perang di Taiwan ini. Dia rela hidup melarat, makan dan berpakaian seadanya, bahkan tidak memedulikan kesehatannya, demi menabung untuk disumbangkan ke fakir miskin. Adalah Hong Zhong Hai, kakek 82 tahun yang pernah berlaga di perang saudara China, ditahbiskan masuk ke dalam jajaran 46 orang paling dermawan se-Asia Tenggara versi majalah Forbes. Bukannya tidak beralasan, kendati renta, dia rela berkorban demi kepentingan orang banyak.
Tahun lalu, kakek kelahiran Anhui Huoqiu, China, ini menyumbangkan tabungannya sebesar NT$6 juta atau sekitar Rp. 1,78 miliar pada mereka yang membutuhkan. Ia juga sering membantu menyokong hidup janda kawan-kawannya di medan perang.
Menurut kisah yang diungkapkan Peter Wey, seorang diplomat Taiwan di Jakarta, 7 Juli 2011, Hong tidak pernah merasa cukup menyumbang. Dia berpikir bahwa uang yang sudah dikeluarkannya itu masih belum cukup besar. "Saya ingin hidup lebih lama lagi, sehingga saya bisa memberi lebih," kata Hong.
Keadaan Hong saat ini telah payah. Dia berjalan menggunakan skuter listrik sejak jatuh dari sepeda pada 2006 dan mengalami cedera tulang belakang pada 2011. Ia juga menderita penyakit pikun atau demensia dan mengalami kesulitan bicara. Namun, jika bicara soal sumbangan, dia bisa menjelaskan panjang lebar.
"Hidup saya sangat sederhana. Saya menghemat untuk diri sendiri, namun bersedia menyumbang." Kata Hong. Hong ikut wajib militer menggantikan sang kakak tahun 1945, saat usianya baru 16 tahun dan baru enam bulan menikah. Ia pun terjun dalam perang saudara, perang bom tahun 1958, dan sederet perang lainnya.
Saat pulang kampung untuk pertama kalinya pada 1987, Hong mendapati istrinya telah menikah dengan orang lain. Sejak itu ia tidak menikah lagi dan memilih untuk hidup sendiri. Hong telah pensiun dari dunia militer dan tinggal sendiri di kota Hualien, Taiwan timur, terpisah dari saudara-saudara kandungnya.
Kehidupannya yang sederhana di rumah ini mencengangkan seorang perawat yang berkunjung ke rumahnya. "Saya melihat handuk yang sudah robek seperti sarang laba-laba, tetapi dia tidak ingin menggantinya. Ada pula sayur kubis yang dimasukan kedalam penanak nasi listrik sampai lunak, bersama ikan kalengan dan roti kukus dimakannya yang selama seminggu. Usai makan ia hanya mengonsumsi empat butir anggur." ujar si perawat.
Perawat tersebut mengatakan biaya hidup Hong setiap bulan ternyata kurang dari NT$ 1000 (sekitar Rp. 297.000). Sebagian besar uang tunjangan pensiun Hong ditabung untk disumbangkan di kemudian hari.
Pernah ada seorang ibu dan anak yang pernah menerima bantuan Hong, datang dari dusun Xiulin membawa sup ikan untuk Hong sebagai bentuk terima kasih. Ketika menyuapkan sesendok sup kemulutnya, dengan terharu Hong berkata, "Sup ini adalah makanan paling lezat yang pernah saya cicipi."
Hong menyatakan masih ingin menyumbangkan uangnya untuk membantu lebih banyak orang, namun pihak rumah sakit menyarankan Hong agar menggunakannya untuk kepentingan medisnya. "Hong Zhong Hai masih membutuhkan perawatan, menyewa perawat sehingga kami menyarankan untuk sementara menyimpan uangnya. Ia sendiri susah berjalan, tetapi tidak bersedia membeli kursi roda listrik," ujar pihak rumah sakit.
Tahun lalu, kakek kelahiran Anhui Huoqiu, China, ini menyumbangkan tabungannya sebesar NT$6 juta atau sekitar Rp. 1,78 miliar pada mereka yang membutuhkan. Ia juga sering membantu menyokong hidup janda kawan-kawannya di medan perang.
Menurut kisah yang diungkapkan Peter Wey, seorang diplomat Taiwan di Jakarta, 7 Juli 2011, Hong tidak pernah merasa cukup menyumbang. Dia berpikir bahwa uang yang sudah dikeluarkannya itu masih belum cukup besar. "Saya ingin hidup lebih lama lagi, sehingga saya bisa memberi lebih," kata Hong.
Keadaan Hong saat ini telah payah. Dia berjalan menggunakan skuter listrik sejak jatuh dari sepeda pada 2006 dan mengalami cedera tulang belakang pada 2011. Ia juga menderita penyakit pikun atau demensia dan mengalami kesulitan bicara. Namun, jika bicara soal sumbangan, dia bisa menjelaskan panjang lebar.
"Hidup saya sangat sederhana. Saya menghemat untuk diri sendiri, namun bersedia menyumbang." Kata Hong. Hong ikut wajib militer menggantikan sang kakak tahun 1945, saat usianya baru 16 tahun dan baru enam bulan menikah. Ia pun terjun dalam perang saudara, perang bom tahun 1958, dan sederet perang lainnya.
Saat pulang kampung untuk pertama kalinya pada 1987, Hong mendapati istrinya telah menikah dengan orang lain. Sejak itu ia tidak menikah lagi dan memilih untuk hidup sendiri. Hong telah pensiun dari dunia militer dan tinggal sendiri di kota Hualien, Taiwan timur, terpisah dari saudara-saudara kandungnya.
Kehidupannya yang sederhana di rumah ini mencengangkan seorang perawat yang berkunjung ke rumahnya. "Saya melihat handuk yang sudah robek seperti sarang laba-laba, tetapi dia tidak ingin menggantinya. Ada pula sayur kubis yang dimasukan kedalam penanak nasi listrik sampai lunak, bersama ikan kalengan dan roti kukus dimakannya yang selama seminggu. Usai makan ia hanya mengonsumsi empat butir anggur." ujar si perawat.
Perawat tersebut mengatakan biaya hidup Hong setiap bulan ternyata kurang dari NT$ 1000 (sekitar Rp. 297.000). Sebagian besar uang tunjangan pensiun Hong ditabung untk disumbangkan di kemudian hari.
Pernah ada seorang ibu dan anak yang pernah menerima bantuan Hong, datang dari dusun Xiulin membawa sup ikan untuk Hong sebagai bentuk terima kasih. Ketika menyuapkan sesendok sup kemulutnya, dengan terharu Hong berkata, "Sup ini adalah makanan paling lezat yang pernah saya cicipi."
Hong menyatakan masih ingin menyumbangkan uangnya untuk membantu lebih banyak orang, namun pihak rumah sakit menyarankan Hong agar menggunakannya untuk kepentingan medisnya. "Hong Zhong Hai masih membutuhkan perawatan, menyewa perawat sehingga kami menyarankan untuk sementara menyimpan uangnya. Ia sendiri susah berjalan, tetapi tidak bersedia membeli kursi roda listrik," ujar pihak rumah sakit.